Cerita Cinta Seorang Anak Gembala
22.56
Pada zaman dahulu, hidup seorang gembala yang
bersemangat bebas. la tidak punya uang dan tidak punya keinginan untuk
memilikinya. Yang ia miliki hanyalah hati yang lembut dan penuh keikhlasan; hati yang
berdetak dengan kecintaan kepada Tuhan.
Sepanjang hari, ia menggembalakan ternaknya
melewati lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya kepada Tuhan yang
dicintainya, "Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, supaya aku dapat
persembahkan seluruh hidupku kepada-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat
menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku hidup dan bernapas.
Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan
kemuliaan-Mu."
Suatu hari, Nabi Musa melewati padang gembalaan tersebut. la
memperhatikan sang Gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya dengan kepala
yang mendongak ke langit. Sang gembala menyapa Tuhan, "Ah, di manakah
Engkau, supaya aku dapat menjahit baju-Mu, memperbaiki kasur-Mu, dan
mempersiapkan ranjang-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menyisir
rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat mengilapkan
sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?"
Gembala menjawab, "Dengan Dia yang telah
menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang menguasai siang dan malam,
Bumi dan langit."
Nabi Musa murka mendengar jawaban gembala itu,
"Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu! Apa yang kamu
ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumbat mulutmu dengan kapas supaya kamu
dapat mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu tidak
menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang
telah meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti itu
sekarang juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini
akibat dosa-dosamu!"
Sang Gembala segera bangkit setelah mengetahui
bahwa yang mengajaknya bicara adalah seorang nabi. Ia bergetar ketakutan.
Dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya,
ia mendengarkan Nabi Musa yang terus berkata, "Apakah Tuhan adalah seorang
manusia biasa sehingga Ia harus memakai sepatu dan alas kaki? Apakah Tuhan
seorang anak kecil yang memerlukan susu supaya Ia tumbuh besar? Tentu saja
tidak. Tuhan Maha sempurna di dalam diri-Nya. Tuhan tidak memerlukan siapa pun.
Dengan berbicara kepada Tuhan seperti yang telah engkau lakukan, engkau bukan
saja telah merendahkan dirimu, tetapi kau juga merendahkan seluruh ciptaan
Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf,
kalau kau masih memiliki otak yang sehat!"
Gembala yang sederhana itu tidak mengerti bahwa
apa yang dia sampaikan kepada Tuhan adalah kata-kata yang kasar. Dia juga
takmengerti mengapa nabi yang mulia telah memanggilnya sebagai seorang musuh, tetapi ia tahu betul bahwa seorang nabi
pastilah lebih mengetahui daripada siapa pun. Ia hampir tak dapat menahan
tangisannya.
Ia berkata kepada Musa, "Kau telah
menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak ini, aku berjanji akan menutup mulutku
untuk selamanya." Dengan keluhan yang panjang, ia berangkat meninggalkan
ternaknya menuju padang pasir.
Dengan perasaan bahagia karena telah meluruskan
jiwa yang tersesat, Musa melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba,
Allah Yang Mahakuasa menegurnya, "Mengapa engkau berdiri di antara Kami
dengan kekasih Kami yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang
dicintai-nya? Kami telah mengutus engkau supaya engkau dapat menggabungkan
kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan di antaranya."
Musa mendengarkan kata-kata langit itu dengan
penuh kerendahan dan rasa takut.
Tuhan berfirman, "Kami tidak menciptakan
dunia supaya Kami memperoleh keuntungan darinya. Seluruh makhluk diciptakan
untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak memerlukan pujian atau
sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau pengabdian. Orang-orang yang
beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah yang mereka lakukan.
Ingatlah, bahwa di dalam cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak
memiliki makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau
komposisi kalimat. Yang Kami perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam
dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengetahui ketulusan makhluk Kami
walaupun kata-kata mereka bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang dibakar
dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna."
Suara dari langit selanjutnya berkata,
"Mereka yang ter-ikat dengan basa-basi bukanlah mereka yang terikat dengan
cinta dan umatyang beragama bukanlah umatyang mengikuti cinta karena cinta
tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri." Tuhan kemudian mengajarinya
rahasia cinta.
Setelah memperoleh pelajaran itu, Nabi Musa
mengerti kesalahannya. Sang Nabi pun merasa menderita penyesalan yang luar
biasa. Dengan segera, ia berlari mencari gembala itu untuk meminta maaf. Berhari-hari, ia
berkelana di padang rumput dan gurun pasir, menanyakan orang-orang apakah
mereka mengetahui pengggembala yang dicarinya.
Setiap orang yang ditanyainya menunjuk arah yang
berbeda. Hampir, ia kehilangan harapan, tetapi akhirnya Allah Swt.
mempertemukannya dengan gembala itu. Ia tengah duduk di dekat mata air.
Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia berada di tengah tafakur
yang dalam sehingga ia tidak memperhatikan Musa yang telah menunggunya cukup
lama.
Akhirnya, gembala itu mengangkat kepalanya dan
melihat Nabi Musa.
Musa berkata, "Aku punya pesan penting
untukmu. Tuhan telah berfirman kepadaku bahwa tidak diperlukan kata-kata yang
indah bila kita ingin berbicara kepada-Nya. Kamu bebas berbicara kepada-Nya
dengan cara apa pun yang kamu sukai, dengan kata-kata apa pun yang kamu pilih.
Apa yang aku duga sebagai kekafiranmu ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan
yang menyelamatkan dunia."
Sang Gembala hanya menjawab sederhana, "Aku
sudah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku sekarang dipenuhi dengan
kehadiran-Nya. Aku takdapat menjelaskan keadaanku padamu dan kata-kata pun tak
dapat melukiskan pengalaman ruhani yang ada dalam hatiku." Kemudian, ia
bangkit dan meninggalkan Nabi Musa.
Utusan Allah ini menatap sang Gembala sampai ia
tak terlihat lagi. Setelah itu, ia kembali berjalan ke kota terdekat,
merenungkan pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang gembala sederhana
yang tidak berpendidikan.
0 komentar